Teknologi bukanlah jawaban

Abdurrahman Wafa
2 min readOct 3, 2024

--

NUS-SDE Net-Zero Energy Building (Photo by Finbarr Fallon)

Halo, jadi, pada tulisan kali ini izinkan aku untuk menyampaikan sedikit pandangan mengenai hasil kuliah tamu oleh Pak Johannes Widodo, seorang arsitek dan juga dosen di National University of Singapore.

Pembahasan dibuka dengan penjelasan mengenai Resilient Architecture & the City.

Apa yang dimaksud dengan resilience? Resilience itu sendiri sebenarnya lebih dari sekadar survival atau bertahan hidup ia merupakan sebuah kontinuitas atau keberlanjutan dalam melalui berbagai rintangan maupun halangan. Konsep ini dapat diterapkan ke berbagai hal seperti alam, sosial, maupun bangunan.

Konsep ini juga berisi adaptation (adaptasi) dan recovery (pemulihan) yaitu sebuah kapasitas dalam merespon sebuah bencana, entah itu wabah, alam, ekonomi, maupun bencana lainnya.

Pak Johannes memberikan sebuah contoh dimana seharusnya sebuah bangunan dapat beradaptasi jika sewaktu-waktu fungsi ruangnya berubah, seperti dua buah kelas yang dibatasi dengan sekat yang dapat dibuka sehingga sewaktu-waktu bisa dialihfungsikan sebagai ruang pameran.

Pembahasan berlanjut dengan karakteristik mengenai Resilient Architecture yaitu flexibility (fleksibilitas), durability (ketahanan), adaptability (adaptasi) dan sustainability (berkelanjutan). Yang dimaksud dengan sustainability disini itu adalah sebuah bangunan yang diharapkan hemat energi atau net-zero yang mana hal itu merujuk kepada Arsitektur Vernakular atau arsitektur yang menyesuaikan iklim lokal, menggunakan teknik dan material lokal, dipengaruhi aspek sosial, dan budaya, serta ekonomi masyarakat setempat.

Pak Johannes juga menyinggung bahwa teknologi itu bukanlah jawaban. Karena pada hakikatnya, jawaban dari segala permasalahan arsitektural ada pada nenek moyang kita dahulu. Bagaimana mereka dahulu hidup bersama alam, berpindah-pindah, kemudian mulai mencari gua sebagai tempat tinggal, dilanjutkan dengan pembuatan rumah sederhana yang mana mereka menggunakan atap sebagai tempat menyimpan makanan, lalu kemudian terus beradaptasi dengan iklim dan material setempat, hingga berakhir dengan rumah-rumah tradisional yang kita kenal saat ini.

Rumah-rumah tradisional merupakan salah satu percontohan dari apa yang kita kenal dengan istilah Net-Zero Energy pada hari ini. Bagaimana mereka -pada saat itu, membuat sebuah hunian tanpa perlu adanya energi listrik yang berlebih, memiliki sirkulasi udara yang nyaman, dan juga program ruang yang fleksibel.

Banyak bangunan di zaman sekarang yang bisa menjadi percontohan dari Arsitektur Vernakular salah satunya adalah bangunan pada gambar di atas, NUS-SDE Net-Zero Energy Building.

Bangunan ini cukup menarik karena Pak Johannes menjelaskan bahwa konsumsi listrik pada bangunan ini tidak hanya hemat, bahkan surplus sehingga energi yang berlebih dapat disalurkan ke bangunan yang lain. Bangunan ini juga meletakkan lift di area yang tersembunyi, pengap, dan macet sehingga mayoritas pengguna lebih memilih menggunakan tangga sebagai sirkulasi vertikal.

--

--